Etika dalam Auditing
Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada
masyarakat dan komitmen moral yang tinggi.Masyarakat menuntut untuk memperoleh
jasa para auditor publik dengan standar
kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika
yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit.Standar
etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai
orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Kode etik atau
aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor profesional
dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan
sulit.Beragam masalah etis berkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan auditing.Banyak auditor menghadapi masalah serius karena mereka
melakukan hal-hal kecil yang tak satu pun tampak mengandung kesalahan serius,
namun ternyata hanya menumpuknya hingga menjadi suatu kesalahan yang besar dan
merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan yang diberikan. Untuk itu
pengetahuan akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan memberikan
peluang untuk melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama, akan membangun
suasana etis di lingkungan kerja.
Masalah-masalah
etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang meliputi permintaan atau
tekanan untuk:
- Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
- Mengungkapkan informasi rahasia
- Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya.
- Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan.
- Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.
- Oleh karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.
Aturan etika merupakan penjabaran lebih lanjut dari
prinsip-prinsip etika dan ditetapkan untuk masing-masing kompartemen.Untuk
akuntan sektor publik, aturan etika ditetapkan oleh IAI Kompartemen Akuntan
Sektor Publik (IAI-KASP).Sampai saat ini, aturan etika ini masih dalam bentuk exposure
draft, yang penyusunannya mengacu
pada Standard of Professional Practice on Ethics yang diterbitkan oleh the
International Federation of Accountants (IFAC).
Berdasarkan
aturan etika ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki
karakteristik yang mencakup:
- Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
- Kesediaan melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan.
- Berpandangan obyektif.
- Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi.
Penerapan aturan etika ini dilakukan untuk
mendukung tercapainya tujuan profesi
akuntan yaitu:
1.
bekerja
dengan standar profesi yang tinggi,
2.
mencapai
tingkat kinerja yang diharapkan dan
3.
mencapai
tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut aturan
etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Kredibilitas
akan informasi dan sistem informasi.
2.
Kualitas
layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi.
3.
Keyakinan
pengguna layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis
yang mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan etika IAI-KASP memuat
tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis auditor dan empat panduan umum lainnya
berkenaan dengan perilaku etis tersebut. Ketujuh prinsip dasar tersebut adalah:
integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian, kerahasiaan, ketepatan
bertindak, dan standar teknis dan profesional. Empat panduan umum mengatur
hal-hal yang terkait dengan good governance, pertentangan kepentingan, fasilitas dan hadiah, serta penerapan
aturan etika bagi anggota profesi yang bekerja di luar negeri.
•
Integritas
berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga
sifat dapat dipercaya, bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang
sebenarnya. Hal ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal
ketika memberikan layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja dan
kepada auditannya. Misalnya, auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat
berbagai alternatif penyajian
informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang
berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan yang ada untuk memanipulasi fakta-fakta,
auditor yang berintegritas mampu bertahan dari berbagai tekanan tersebut
sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin. Auditor perlu
mendokumentasikan setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam situasi
penuh tekanan tersebut.
•
Auditor
yang obyektif adalah auditor yang tidak memihak sehingga independensi
profesinya dapat dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia
tidak boleh bertindak atas dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan,
atau pengaruh dari pihak lain. Obyektivitas dipraktikkan ketika auditor
mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya. Auditor yang obyektif adalah
auditor yang mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan
bukannya karena pengaruh atau berdasarkan pendapat atau prasangka pribadi maupun
tekanan dan pengaruh orang
lain.Obyektivitas auditor dapat terancam karena berbagai hal. Situasisituasi
tertentu dapat menghadapkan auditor pada tekanan yang mengancam
obyektivitasnya, seperti hubungan kekerabatan antara auditor dengan pejabat
yang diaudit. Obyektivitas auditor juga dapat terancam karena tekanan - tekanan
pihak-pihak tertentu, seperti ancaman secara fisik. Untuk itu, auditor harus
tetap menunjukkan sikap rasional dalam mengidentifikasi situasi-situasi atau
tekanan-tekanan yang dapat mengganggu obyektivitasnya.Ketidakmampuan auditor
dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan etika
karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu
menunjukkan indikasi adanya kekurangan obyektivitas.Hubungan finansial dan
non-finansial dapat mengganggu kemampuan auditor dalam menjalankan prinsip
obyektivitas. Misalnya, auditor memegang jabatan komisaris bersama-sama
dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit banyak akan mempengaruhi
obyektivitas auditor tersebut ketika mengaudit auditan. Transaksi peminjaman
dari auditan atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor menyajikan
temuan audit yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila temuan
tersebut berpengaruh terhadap keuangannya.
•
Agar
dapat memberikan layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan
mempertahankan kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu
meningkatkan pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa instansi tempat ia bekerja atau auditan dapat menerima
manfaat dari layanan profesinya berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan,
dan teknik-teknik yang terbaru.Berdasarkan prinsip dasar ini, auditor hanya
dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki kompetensi yang diperlukan atau
menggunakan bantuan tenaga ahli yang kompeten untuk melaksanakan
tugas-tugasnya secara memuaskan.Berkenaan
dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan audit, auditor harus
dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan.
Pendidikan dan pelatihan ini dapat bersifat umum dengan standar tinggi yang
diikuti dengan pendidikan khusus, sertifikasi, serta pengalaman
kerja.Kompetensi yang diperoleh ini harus selalu dipertahankan
dan dikembangkan dengan terus-menerus mengikuti perkembangan dalam profesi
akuntansi, termasuk melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional
yang relevan dengan akuntansi, auditing, dan keterampilan-keterampilan teknis
lainnya.
•
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi
yang diperolehnya
dalam melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus
dilakukan secara terbuka dan transparan. Dalam prinsip kerahasiaan ini juga,
auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan
pribadinya, misalnya
untuk memperoleh keuntungan finansial.
Prinsip kerahasiaan tidak berlaku dalam
situasi-situasi berikut:
1.
Pengungkapan
yang diijinkan oleh pihak yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat
ia bekerja. Dalam melakukan pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan
kepentingan seluruh pihak, tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja,
tetapi juga termasuk pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari
pengungkapan informasi ini.
2.
Pengungkapan
yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana
pencucian uang, tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
3.
Pengungkapan
untuk kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang.
•
Bila
auditor memutuskan untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi di atas, ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
1.
Fakta-fakta
yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya
pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta
tersebut tidak didukung dengan bukti yang kuat.
2.
Pihak-pihak yang menerima informasi adalah pihak yang
tepat dan memiliki
tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
3.
Perlunya
nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat
sebelum melakukan pengungkapan informasi.
•
Auditor
harus dapat bertindak konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta
lembaga profesi akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan
yang dapat mendiskreditkan lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional.
Tindakan-tindakan yang tepat ini perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan
keteladanan.Apabila auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang
tidak benar, maka auditor tersebut harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk melindungi masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat
ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari tindakan-tindakan auditor lain yang tidak benar
tersebut.Untuk itu, ia harus mengumpulkan bukti-bukti dari tindakan yang tidak
benar tersebut dan menuangkannya dalam suatu laporan yang dibuat secara jujur
dan dapat dipertahankan kebenarannya.Auditor kemudian melaporkan kepada pihak
yang berwenang atas tindakan yang tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari
auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar tersebut atau kepada pihak
yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
•
Auditor
harus melakukan audit sesuai dengan standar audit yang berlaku, yang meliputi
standar teknis dan profesional yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia.Pada instansi-instansi
audit publik, terdapat juga standar audit yang mereka tetapkan dan berlaku bagi
para auditornya, termasuk aturan perilaku yang ditetapkan oleh instansi tempat
ia bekerja. Dalam hal terdapat perbedaan dan/atau pertentangan antara standar
audit dan aturan profesi dengan standar audit dan aturan instansi, maka
permasalahannya dikembalikan kepada masing-masing lembaga penyusun standar dan aturan
tersebut.
•
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, panduan umum lainnya yang tercantum dalam aturan
etika IAI-KASP terdiri dari tiga hal yaitu :
1.
panduan
good governance dari organisasi/instansi tempat auditor bekerja,
2.
panduan
identifikasi pertentangan kepentingan,
3.
panduan
atas pemberian fasilitas dan hadiah, dan
4.
panduan
penerapan aturan etika bagi auditor yang bekerja di luar wilayah hukum aturan
etika.
•
Good
Governance
•
Auditor
diharapkan mendukung penerapan good governance pada organisasi atau instansi
tempat ia bekerja, yang meliputi prinsip-prinsip berikut:
1.
Tidak mementingkan diri sendiri
2.
Integritas
3.
Obyektivitas
4.
Akuntabilitas
5.
Keterbukaan
6.
Kejujuran
7.
Kepemimpinan
8.
Struktur
dan proses organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal
berikut yaitu: akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan
dana publik, komunikasi dengan stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan
keseimbangan kekuasaan antara stakeholders dan pengelola.
9.
Instansinya
juga harus memiliki mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang
mencakup: pelaporan tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit,
komite penelaah kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki
standar perilaku yang mencakup kepemimpinan dan aturan perilaku.
•
Beberapa
hal yang tercantum dalam aturan etika yang dapat mengindikasikan adanya
pertentangan kepentingan yang dihadapi oleh auditor sektor publik adalah:
1.
Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja, maupun auditan
di tempat kerja
(instansinya).
2.
Adanya
tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau relasi.
3.
Adanya
tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4.
Adanya
tuntutan loyalitas kepada organisasi atau atasan yang bertentangan
dengan kepatuhan atas standar profesi.
5.
Adanya
publikasi informasi yang bias sehingga menguntungkan instansinya.
Adanya peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi
atas beban instansi tempat ia bekerja atau auditan
•
Auditor
dapat menerima fasilitas atau hadiah dari pihak-pihak yang memiliki atau akan
memiliki hubungan kontraktual dengannya dengan mengacu dan memperhatikan
seluruh peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, dengan
melakukan tindakan-tindakan berikut:
1.
Melakukan
pertimbangan atau penerimaan fasilitas atau hadiah yang normal dan masuk akal,
artinya auditor juga akan menerima hal yang sama pada instansi tempat ia
bekerja apabila ia melakukan hal yang sama.
2.
Meyakinkan
diri bahwa besarnya pemberian tidak menimbulkan persepsi masyarakat bahwa
auditor akan terpengaruh oleh pemberian tersebut.
3.
Mencatat
semua tawaran pemberian fasilitas atau hadiah, baik yang diterima maupun yang
ditolak, dan melaporkan catatan tersebut.
4.
Menolak
tawaran-tawaran fasilitas atau hadiah yang meragukan.
5.
Sesuai
dengan etika profesi, akuntan yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan
memiliki sikap independensi dalam setiap pelaksanaan audit.
6.
Dalam
kaitannya dengan auditor, independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu
kepada kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau tampaknya
merusak kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi, independensi
diartikan sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
7.
Selain
itu, terdapat pengertian lain tentang independensi yang berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian,
evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit.
Independensi harus dipandang
sebagai salah satu ciri auditor yang paling penting.
8.
Alasannya
adalah begitu banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan
laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
9.
Independensi
dan Profesionalisme Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak
menggunakan pertimbangannya hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas
auditor, setiap pertimbangan mengenai kepentingan auditan harus disubordinasikan
kepada kewajiban atau tanggung jawab yang lebih besar yaitu kewajiban terhadap
pihak-pihak ketiga dan kepada publik. Prinsip kunci dari seluruh gagasan
profesionalisme adalah bahwa seorang profesional memiliki pengalaman dan
kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi dari auditan.
Oleh karena itu, profesional tersebut seharusnya tidak mensubordinasikan
pertimbangannya kepada keinginan auditan.
10. Sikap mental
independen harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam
penampilan (in appearance).
11. Independensi dalam kenyataan akan ada
apabila pada kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak
sepanjang pelaksanaan audit.
12. Independen dalam
penampilan berarti hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila
auditor memiliki sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang
berkepentingan yakin bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka
sebagian besar nilai fungsi auditnya akan sia-sia.
13. Independensi dalam
Kenyataan
14. Independensi dalam kenyataan
merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam profesi akuntansi.
Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk sebagian besar
independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan sehari-hari
seorang profesional. Namun mereka gagal untuk memberikan bukti penegasan ini atau
bahkan untuk menjelaskan
mengapa mereka percaya bahwa hal itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk
membedakan sifat-sifat utama yang diperlukan untuk independensi dalam
kenyataan. Audit dikatakan gagal jika seorang auditor memberikan pendapat
kepada pihak ketiga bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku umum padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Seringkali kegagalan audit disebabkan oleh tidak adanya independensi.
15. Contoh tidak adanya
independensi dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan skeptisisme,
menyetujui pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang lingkup audit
atau dengan tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi auditan.
Beberapa pihak juga percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan perwujudan dari
tiadanya independensi dalam kenyataan.
16. Independensi dalam
Penampilan
17. Independensi dalam
penampilan mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai independensi
auditor. Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status independensi
dari auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen dalam kenyataan,
tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor berpihak kepada
auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
18. Adanya persepsi
mengenai tidak adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai
laporan audit tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi.
Auditor berperan untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi
keuangan yang dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor
secara keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di
dalam masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung
kepada persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam
penampilan), bukan independensi dalam kenyataan.
19. Hasil audit diperlukan
oleh berbagai pihak sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.
20. Opini auditor yang
tidak akurat akan memberikan dampak yang buruk. Karenanya, timbul suatu
kebutuhan untuk menjaga kualitas laporan audit sehingga mencegah pengambilan
keputusan yang kurang tepat.
21. Dalam penugasan audit,
auditor harus mematuhi standar audit. Oleh karena itu, organisasi pemeriksa
harus membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan
keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar audit.
22. Pengendalian mutu
terdiri metode yang digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi pemeriksa telah
menerapkan dan mematuhi kemahiran profesionalnya, termasuk standar, kebijakan
dan prosedur pemeriksaan secara memadai.
23. Pengendalian mutu
berhubungan erat, tetapi tidak sama dengan standar audit. Pengendalian mutu
adalah prosedur yang digunakan organisasi pemeriksa di setiap penugasan audit
untuk membantu mereka memenuhi standar audit secara konsisten. Oleh karena itu,
pengendalian mutu ditujukan untuk
organisasi pemeriksa secara keseluruhan, sedangkan audit standar berlaku untuk
setiap penugasan audit.
24. Sifat dan lingkup
sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa sangat tergantung pada beberapa
faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan kepada staf
dan organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur organisasi, pertimbangan
mengenai biaya dan manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar