Keseimbangan Ekspor-Impor
Tekan Defisit Transaksi Berjalan
Neraca transaksi berjalan
yang selama ini menjadi salah satu pemicu gejolak ekonomi, Pemerintah
diharapkan bisa mengatasinya dengan bauran-bauran kebijakan pemerintah yakni
seperti menerapkan kebijakan ekspor dan impor yang seimbang. Rezkiana Nisaputra
Jakarta–Pemerintah
diharapkan bisa mengeluarkan kebijakan terkait dengan perdagangan internasional
yang berorientasi pada keseimbangan nilai ekspor dan impor. Hal tersebut
dilakukan karena selama ini kegiatan impor lebih besar bila dibandingkan dengan
kegiatan ekspor.
Anggota Badan Supervisi
Bank Indonesia (BSBI), Umar Juoro mengatakan, dengan adanya kebijakan tersebut,
yakni untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan yang selama ini menjadi
pemicu pelemahan berbagai indukator perekonomian domestik.
“Pemenuhan kebutuhan
domestik seharusnya bisa sejalan dengan ekspor. Jadi, kebijakan impor dan
ekspor harus seimbang,” ujar Umar, belum lama ini di Jakarta.
Guna menjaga stabilitas
neraca perdagangan, lanjutnya, pemerintah harus mulai menerapkan kebijakan
ekspor dan impor yang seimbang. Sehingga, apabila ada kenaikan angka
pertumbuhan ekonomi, hal tersebut tidak meningkatkan defisit neraca transaksi
berjalan.
“Sekarang ini, tidak ada
kebijakan yang berupaya menyeimbangkan nilai ekspor dan impor. Yang terjadi itu
malah pemberlakuan kebijakan yang semakin memperbesar impor kita,” tukasnya.
Umar menuturkan,
pelemahan Rupiah yang terjadi belakangan ini karena besarnya defisit transaksi
berjalan yang disebabkan oleh tingginya impor minyak. “Pelemahan Rupiah saat
ini lantaran current account deficit. Ini karena demand terhadap dolar AS kita
tinggi,” papar Umar.
Menurutnya, kebijakan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada pertengahan 2013 lalu,
merupakan langkah yang baik. Akan tetapi dalam kenyataannya, impor minyak masih
tinggi dan permintaan tidak berkurang. “Ini harus ada ketegasan pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan menekan impor. Atau, lebih baik seluruh mobil
pribadi pakai BBM nonsubsidi,” ucapnya.
Kebijakan fiskal yang
selama ini diberlakukan pemerintah dinilai tidak akan mampu meredam defisit
transaksi berjalan secara signifikan. Sementara itu, kebijakan moneter yang
berupaya menstimulasi kebijakan fiskal juga tidak mungkin untuk mengerem laju
defisit transaksi berjalan lebih dalam lagi.
“Kita tidak ingin BI Rate
naik lagi. Jangan sampai permasalahan sektor riil diatasi dengan kebijakan
moneter. Kenaikan BI Rate itu konsekuensi dari apa yang dilakukan di sektor
riil,” tutup Umar. (*)
Jakarta (ANTARA News) -
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan defisit neraca transaksi
berjalan akan menurun pada triwulan I-2014, karena kemungkinan adanya
perlambatan dari sektor impor.
"PPh impor kita baru
efektif pada Januari, mudah-mudahan itu bisa membantu memperkuat tekanan dari
impor barang konsumsi," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Bambang menjelaskan
sektor ekspor juga memberikan kontribusi dalam neraca transaksi berjalan pada
triwulan I, karena nilai rupiah yang sempat mengalami pelemahan terhadap dolar
AS dapat membantu kinerja ekspor produk manufaktur.
"Mudah-mudahan
dengan nilai rupiah yang terdepresiasi itu bisa membantu, terutama
produk-produk manufaktur kita volumenya bisa lebih tinggi. Jadi, saya masih
melihat peluangnya pada kisaran yang bagus," katanya.
Bambang memperkirakan
defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan I-2014, tidak terlalu jauh dari
angka defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2013 yang tercatat sebesar
1,98 persen terhadap PDB atau empat miliar dolar AS.
"Sekarang bagus di
bawah dua (persen). Kalaupun ada penurunan mudah-mudahan tidak terlalu jauh
dari dua persen," katanya.
Sebelumnya, Menteri
Keuangan Chatib Basri memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan sepanjang
2014 akan berada pada kisaran 2 persen-2,5 persen terhadap PDB, meskipun neraca
transaksi berjalan selalu mengalami fluktuasi per triwulannya.
"Siklus current
account deficit itu biasanya triwulan satu menurun defisitnya, kemudian
meningkat di triwulan dua, dan nanti di triwulan tiga dan empat akan kembali
menurun. Polanya selalu begitu," ujarnya.
Bank Indonesia (BI)
mengumumkan defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal IV-2013 sebesar
empat miliar dolar AS atau 1,98 persen terhadap PDB, lebih kecil dari perkiraan
BI sebelumnya tiga persen terhadap PDB.
BI mencatat perbaikan
signifikan pada defisit transaksi berjalan tersebut lebih besar dipengaruhi
oleh neraca perdagangan di sektor nonmigas dan kondisi itu telah sejalan dengan
arah kebijakan BI.